Senin, 27 Juli 2009

GEBUG ENDE SERAYA


Gebug Ende, Ritual Panggil Hujan

AMLAPURA—

Selain keberadaan kain Geringsing Tenganan yang dianggap mampu menghindarkan pemakainnya dari segala bencana penyakit. Budaya unik lainnya yang dianggap memiliki nilai sakral yakni keberadaan Gebug Ende yang ada di Desa Seraya, Kecamatan Karangasem.



Sesuai dengan asal daerahnya, Gebug Ende lebih dikenal dengan sebutan Gebug Seraya. Atraksi para jawara gebug di Desa Seraya Timur, bukan hanya sekedar untuk menunjukan ketangkasan. Namun dibalik itu ada nilai sakral yang sangat dikeramatkan warga setempat. Gebug Ende atau Gebug Seraya jarang dipertunjukan didepan umum, karena gebug ende merupakan salah satu kesenian sakral nyang dikeramatkan.



Secara sekilas, keberadaan seni sakral dari desa terbelakang yang terkenal dengan penghasil ikan laut ini memang terkesan keras. Karena, senjata yang digunakan dalam perntunjukan ini berupa rotan kering dengan perlengkapan tameng dari bahan rotan dan kulit binatang. Namun ketika dua orang penggebug sedang berlaga, mereka terlihat seperti sedang menarikan sesuatu.

Gebug seraya tergolong kesenian klasik ini biasanya digelar setiap musim kemarau dengan tujuan untuk mengundang hujan.



Menurut cerita, pada jaman dahulu Seraya pernah mengalami kemarau panjang yang mengakibatkan areal perbukitan menjadi gersang, lahan pertanian kering sehingga warga seraya mengalami gagal panen dan warga kesulitan mendapatkan air. Karena kegeringan tanpa air, warga Seraya saat itu langsung menggelar ritual ”Magebug” untuk memanggil atau memohon hujan. Setelah ritual Magebug itu dilakukan biasanya langit akan mendung dan turun hujan. Dan ritual ini akan digelar terus sampai hujan turun.



Sementara itu, orang yang melakukan pertunjukkan ini, meskipun dipukul dengan rotan oleh lawannya diyakini tubuhnya tidak merasakan kesakitan. Meskipun luka memar dan berdarah, mereka tidak merasakan sakit. Jingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar