Rabu, 29 Juli 2009

DILEMA PERKAWINAN NEGENIN

Dilema Perkawinan ‘’Negenin’’

Lebih Berat Karena Tanggung Dua Kewajiban


Banyak sekali kasus perkawinan adat di Bali. Selama ini perkawinan nyentana dimana prosesinya unik karena pria yang dipinang wanita. Akibatnya perkawinan ini mendapat banyak tentangan dari sebagian masyarakat Bali. Perkawinan dengan system mencari sentana muncul sebagai akibat suatu keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunannya. Sehingga, guna melanjutkan sidikara dalam perkumpulan adatnya, keluarga tanpa anak laki-laki ini memandang perlu untuk menetapkan salah seorang anak perempuannya mencari sentana.


Masalah baru muncul manakala, masing-masing pihak bersaudara tunggal. Sudah dapat dipastikan yang pria tidak mau nyentana. Tetapi lantaran saking cintanya, mestikah hubungan diputuskan??


Sebagai jawaban dari masalah ini ada system perkawinan yang mungkin bisa diterapkan yang oleh banyak ahli hokum adat di Bali disebut dengan perkawinan ‘’Pada Gelahang’’ (sama-sama memiliki) atau lebih popular dengan sebutan ‘’Negenin’’. Artinya, masing-masing pihak tetap berstatus sebagai purusa dalam keluarganya. Konsekwensinya orang yang melakukan perkawinan negenin kewajibannya memang lebih berat dibandingkan orang yang melakukan perkawinan biasa. Karena keduanya harus melakukan kewajiban adat pada kedua tempat yakni dirumah suami dan istrinya.



Banyak ahli hokum adat yang menilai perkawinan pada gelahang bukanlah bentuk perkawinan biasa dan perkawinan ini juga bukan pula perkawinan nyentana. Karena masing-masing pihak memiliki status sama dalam keluarganya yakni purusa dan secara bersama-sama akan melaksanakan kewajibannya dikedua tempat yakni ditempat keluarga suami dan tempat keluarga istrinya. Sebagai akibat kewajiban ini, kedua pasangan yang melakukan perkawinan negenin memiliki hak, dimana saat meninggal kelak bisa dikuburkan disetra desa istrinya atau di setra desa asal suaminya.



Perkawinan biasa dilakukan seperti lazimnya perkawinan yang dilakukan orang kebanyakan. Yakni pihak pria yang melamar sigadis untuk dijadikan istri. Sebaliknya, perkawinan nyentana dilakukan dimana pihak keluarga si gadis yang melamar si pria untuk diajak tinggal dirumahnya. Siwanita ini statusnya disebut sentana rajeg, yakni perempuan yang ditingkatkan statusnya sebagai laki-laki melalui upacara.



Kembali pada masalah diatas, ketika masing-masing pihak memiliki anak tunggal, pihak pria tidak akan mau melakukan perkawinan nyentana sedangkan pihak perempuan juga akan keberatan jika anaknya diambil untuk tinggal bersama pujaannya. Sehingga, meskipun lebih berat karena menanggung dua kewajiban adat, perkawinan negenin atau perkawinan ‘’negen ayah’’ adalah alternative yang bisa dijalani. Jingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar