Berbagai budaya unik terdapat di Kabupaten penghujung timur Bali, Karangasem. Selain Megeret Pandan (perang pandan) di Desa Tenganan Pegringsingan, Gebug Ende di Desa Seraya serta budaya unik di desa tua lainnya, di Karangasem juga ada upacara pecaruan yang cukup unik yang berlangsung di Desa Adat Linggawana, Desa Kertamandala, Abang, Karangasem. Pecaruan unik ini yakni sapi yang diarak dijalanan desa setempat dengan melewati enam gundukan api unggun. Selanjutnyam sapi tersebut dilebar di perbatasan desa tepatnya di lokasi setra Kadengklong.
Menurut Jro Mangku Made Rai, upacara pecaruan sapi yang disebut Ayu-Ayu Kadengklong ini dilakukan setiap tahun saat tileming bulan keenam sebagai yadnya upacara terbesar (semacam tawur agung didesa setempat). Sebelum caru diarak, didahului dengan persembahyangan bersama yang diising dengan tari rejang. Selanjutnya dilakukan Murwa Daksina. Setelah itu Caru bayang-bayang Kadengklong Mesolah dengan melewati enam gundukan api unggun di sepanjang rute jalan desa. Selanjutnya barulah caru tersebut dilebar di setra Kadengklong tepatnya di perbatasan Desa Adat Linggawana dengan Desa Adat Ancut.
Sementara itu, Prajuru Adat Desa Adat Liggawana I Wayan Anta, menambahkan, prosesi Kadengklong ditarikan oleh 4 orang secara bergilir dimulai dari depan Pura Puseh untuk lanjut melewati enam gundukan api unggun masing-masing didepan Pura Kawitan, ditengah desa, di pekarangan, didepan Bale Banjar dan di depan Pemedal Agug Ida Betara Bagus Mas, sebelum dilebar ke perbatasan desa. Sesolahan pecaruan Kadengklong diyakini krama setempat sebagai prosesi upacara sakral jika ada yang berani melarang maka yang melarang ditimpa musibah dan berisiko niskala. Menurut cerita turun temurun, dahulu kala pernah dilarang oleh pihak Puri, sehingga menimbulkan bencana terjadi guncangan hebat di Puri, semenjak itu Puri tidak lagi berani melarang aktifitas spiritual tersebut hingga ajeg sampai sekarang. Wujud penyelamatan alam yang menjadi makna sesolahan Kadengklong sampai saat ini memberi dampak kerahayuan jagat khususnya di Desa Adat Linggawana.
Sarana sapi yag pantang dipakai pecaruan Ayu Kadengklong, menurut Anta, adalah sapi yang memiliki cacat bawaan atau pisik seperti Tledu Ngiyah, Panjut, Meuser Dimangar karena jika dipaksakan digunakan upacara dapat mendatangkan mara bahaya. Setelah pelaksanaan Caru Kadengklong, keesokan harinya semua krama Desa Adat Linggawana melakukan Tapa Brata Penyepian Adat, sebagai wujud pengendalian hawa napsu duniawi dan meningkatkan srada bakti serta penyucian diri. Saat ngelebar pecaruan Kadengklong krama setempat juga percaya memperoleh bekas caru untuk dimakan dapat mendatangkan rejeki dan memperoleh anugrah keselamatan, maka itu usai prosesi nglebar caru, krama biasanya berebut untuk memperoleh bagian-bagian dari caru untuk dimakan atau dibawa pulang. dek