Perkawinan Beda Agama, Haramkah???
Lembaga perkawinan merupakan lembaga yang sangat sacral. Karena perkawinan erat menyangkut soal kepercayaan pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan.
Dengan kemajuan perkembangan kehidupan disegala bidang, perkawinan tidak lagi hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepercayaan yang sama. Tidak menutup kemungkinan perkawinan dilakukan oleh pasangan yang berbeda kepercayaan. Sehingga, ini merupakan permasalahan yang rentan terjadi dalam masyarakat.
Pada zaman dahulu, perkawinan dengan kepercayaan (agama) berbeda mungkin sangat tabu untuk dilakukan. Kalau toh dilakukan sudah dapat dipastikan pihak keluarga yang bersangkutan tidak akan merestuinya. Namun, dijaman yang serba modern seperti sekarang masihkan ini tidak boleh dilakukan?. Lantas, apakah penentangan perkawinan beda agama memiliki dasar alasan yang kuat?.
Secara tradisional, mungkin penentangan perkawinan beda agama memiliki alasan jelas yakni takut dikucilkan dalam masyarakat. Alasan berikutnya ketakutan ada keretakan hubungan dan tidak jelasnya asal-usul anak yang akan dilahirkan. Sekarang permasalahan kita kembalikan kepada kodrat manusia yang lahir penuh perbedaan.
Manusia lahir didasarkan atas cinta kasih. Manusia oleh Tuhan dilahirkan penuh dengan perbedaan-perbedaan. Mulai dari perbedaan Agama, Adat termasuk Ras, Budaya dan perbedaan jenis kelamin. Namun, perbedaan tersebut bukan dimaksudkan untuk membeda-bedakan. Kalau kita sadar bahwa kita dilahirkan dengan dasar perbedaan dan cinta kasih, lantas apakah salah kita mencintai seseorang walaupun berbeda agama sekalipun?. Kalau memang yang berbeda sangat haram untuk disatukan, lantas kenapa perempuan dan pria bersatu untuk menikah. Kenapa mereka tidak menikah dalam jenis yang sama sekalian?.
Namun demikian harus diakui, pengaturan perkawinan beda agama sampai sekarang belum jelas alias gamang. Karena UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 sendiri tidak mengatur dengan jelas soal perkawinan beda agama ini. Masalah yang diatur dalam UU tersebut masih membahas masalah perkawinan secara umum seperti perceraian maupun Perkawinan menurut pasal status anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan.
Menurut UU No 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri yang bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Selanjutnya, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Artinya, pasal ini masih memungkinkan dilakukannya perkawinan beda agama selama dilakukan berdasarkan agama masing-masing yang berkepentingan. Pasal 6 ayat 1 UU tersebut menyebutkan Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Hanya itulah sedikit pengaturan perkawinan beda agama. Dan itupun sifatnya masih gamang karena tidak disebutkan secara gambling dalam UU tersebut. Namun demikian, beranjak dari pemikiran bahwa manusia dilahirkan penuh dengan perbedaan, maka perkawinan beda agama sebenarnya sah dilakukan asalkan dikehendaki oleh kedua belah pihak. Untuk memuluskan jalannya perkawinan beda agama, salah satu pihak yang terlibat hendaknya mengalah dan mau mengikuti agama calon pasangannya. Sehingga, unsure dilakukan menurut ajaran masing-masing agama sesuai dengan isyarat pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan terpenuhi.
Ngalahnya salah satu pasangan dengan mengikuti agama salah satu pasangan penting dilakukan, dengan harapan agama anak yang dilahirkan jelas. Sehingga tidak repot memikirkan setelah besar anak akan ikut agama bapak atau agama ibunya. Jingga
Senin, 03 Agustus 2009
Langganan:
Postingan (Atom)