Pro-Kontra Perkawinan Nyetana
‘’Adat kebiasaan tercipta karena prilaku yang dilakukan sekelompok masyarakat yang diikuti secara turun-temurun. Kebiasaan tidak bisa dijadikan dalil pembenar untuk menolak suatu kebiasaan. Karena kebiasaan yang dianggap kontroversi belum tentu tidak berdasarkan pada sastra’’
‘’Adat kadang kejam, kaku dan tidak mengerti perasaan’’
Pendahuluan
Masalah perkawinan adalah masalah yang sangat rumit. Karena perkawinan bukan hanya menyangkut ikatan antara seorang pria dengan wanita yang akan dinikahinya. Tetapi lebih dari itu perkawinan adalah lembaga yang sangat sacral karena menyangkut soal kepercayaan kepada Tuhan dan melibatkan keluarga. Yang perlu diingat, berbicara perkawinan juga akan merembet dalam system pewarisan.
Khusus masyarakat Hindu Bali, yang system pewarisannya bersifat patrilineal (garis kebapakan) perkawinan yang dilakukan harus benar-benar memperhatikan system adat yang berlaku. Banyak kasus Bali seorang anak laki-laki kehilangan hak mewarisnya karena melakukan perkawinan yang dinilai bertentangan dengan adat yang berlaku yakni akibat melakukan perkawinan nyentana. Perkawinan nyentana yakni perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga istrinya, tinggal dirumah istri dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri.
Pro kontra perkawinan nyentana hingga saat ini masih diperdebatkan. Kondisi ini sebenarnya tidaklah berlebihan karena menyangkut sistem pewarisan termasuk didalamnya menyangkut soal keturunan.
Bagi masyarakat yang menerapkan sistem perkawinan nyentana, suatu keluarga mengangkat sentana bila keluarga bersangkutan tidak memiliki anak laki-laki sebagai ahli waris yang akan melanjutkan keturunannya. Sehingga, untuk melanjutkan keturunan keluarga bersangkutan, pihak keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki tersebut merasa perlu untuk menetapkan salah satu anaknya sebagai sentana rajeg yang akan mencari sentana unutuk diajak tinggal dirumahnya.
Aturan dalam perkawinan nyentana dengan perkawinan yang lazim dilakukan dalam masyarakat kebanyakan juga sedikit unik. Dalam perkawinan biasa, lazimnya seorang lelaki yang melamar seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun dalam perkawinan nyentana si gadislah yang melamar si lelaki untuk dijadikan suaminya untuk selanjutnya diajak tinggal dirumah sigadis. Sementara itu keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan keturunan keluarga istrinya tadi. Karena konsekwensi inilah yang mengakibatkan perkawinan nyentana banyak ditentang oleh masyarakat Bali khususnya yang berada di wilayah Karangasem.
Namun demikian, tujuan perkawinan seperti yang termuat dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 adalah membentuk suatu rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, apapun dalilnya, perkawinan nyentana sah secara hokum selama dilakukan berdasarkan unsure suka-sama suka dan dilakukan menurut agama yang berlaku bagi kedua pihak.
Pengertian Perkawinan
Menurut UU No I Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang disebut Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jenis perkawinan yang ada juga beragam yang secara umum dibagi dua yakni perkawinan biasa dan perkawinan Nyentana. Kalau melakukan perkawinan biasa yakni logisnya pria meminang wanita untuk dijadikan istri tidak akan bermasalah. Jenis perkawinan berikutnya yakni Nyentana atau Nyeburin dimana pria dipinang wanita. Jenis perkawinan inilah yang banyak menimbulkan masalah. Dalam perkawinan ini, wanita berstatus sebagai Sentana Rajeg yang akan melanjutkan keturunannya.
Dalam masyarakat Hindu Bali, anak laki-laki memang mempunyai nilai penting dalam melanjutkan keturunan. Karena, anak laki-lakilah yang akan mewarisi adat maupun melanjutkan ‘’sidikara’’ dalam masyarakat. Hal ini berbeda dengan anak perempuan yang tidak memiliki kewajiban seperti anak laki-laki. Akibatnya, kelaurga yang tidak memimili anak laki-laki akan berusaha mencari sentana untuk melanjutkan keturunannya.
Nyentana Sah Menurut Manawa Dharmacastra
Pada azasnya, system kekerabatan dalam masyarakat Bali menganut sistem Patrilineal. Dimana, keturunan yang dilahirkan mengikuti keluarga pihak ayahnya. Tujuan perkawinana secara kasat mata hanya untuk melanjutkan keturunan suatu keluarga (dinasti). Masalah akan timbul manakala suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Sehingga, untuk menghindari keputungan keluarga (putusnya keturunan) keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki ini akan menetapkan salah seorang anak perempuannya sebagai sentana rajeg (statusnya ditingkatkan menjadi laki-laki yang akan mewarisi milik orang tuanya).
Sebagian masyarakat Bali berargumen bahwa perkawinan Nyentana tidak boleh dilakukan. Karena mereka khawatir keturunannya yang menjadi keluarga pihak perempuan tersebut akan ‘’kesakitan’’ dan kesulitan dalam menentukan kawitannya (asal-muasal keturunan). Masalah berikutnya yang banyak ditakutkan yakni terkait dengan pembagian warisan dan nasib anaknya ketika terjadi perceraian dengan istrinya.
Dalam masyarakat adat Bali, kalau seorang laki-laki mengikuti pihak keluarga istrinya biasanya oleh keluarganya maupun lingkungannya akan dicemooh dan disebut ‘’Kepaid Bangkung’’. Sebenarnya, uangkapan kasar inilah yang sangat ditakutkan oleh pihak keluarga lelaki yang anaknya nyentana. Secara yuridis pelaksanaan nyentana dengan kepaid bangkung berbeda. Karena proses nyentana jelas dilakukan dengan sebuah upacara sehingga status pengantin pria juga jelas menjadi bagian dari keluarga istrinya. Sementara kepaid bangkung sampai sekarang masih rancu karena biasanya status laki-aki tetap pada keluarganya hanya saja tinggalnya dirumah istri. Itulah biasanya disebut kepaid bangkung.
Namun demikian, argument ini tidak 100 % benar. Larangan perkawinan nyentana hanya didasarkan atas kebiasaan dari adat yang berlaku semata. Karena sebagian daerah tidak ada kebiasaan nyentana jadi wajarlah masyarakat adat disana menentang perkawinan ini. Sebenarnya golongan masyarakat yang melakukan penentangan dengan kebiasaan perkawinan nyentana ini sangat tidak memahami dari hakekat perkawinan dan penentangan yang mereka lakukan tidak memiliki dasar hokum yang kuat. Mereka hanya mendasarkan larangan melakukan perkawinan nyentana berdasarkan adat kebiasaan. Perlu diingat, adat kebiasaan muncul karena kesepakatan dalam suatu masyarakat adat yang dilakukan dan akhirnya diikuti secara turun temurun. Sehingga lama-kelamaan kebiasaan tersebut berubah menjadi hokum adat.
Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang perkawinan nyentana. Namun demikian kembali seperti keterangan diatas masyarakat pada umumnya memandang negatif perkawinan ini. Karena pihak keluarga laki-laki akan dianggap tidak memiliki harga diri.
Kitab Manawa Dharmasastra sebagai sumber hokum positif yang berlaku bagi umat Hindu secara tegas menyebutkan mengenai status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki. Cloka 127 kitab tersebut secara gamblang menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan’’.
Dari uraian Cloka tersebut, jelaslah bahwa perkawinan nyentana dibolehkan. Lelaki yang mau Nyentana inilah yang disebut Sentana. Dengan demikian, argument yang mengatakan pelarangan terhadap perkawinan nyentana harus dipandang tidak beralasan karena tidak memiliki dasar hokum yang jelas. Pelarangan ini hanya didasarkan atas kebiasaan yang ada. Adat kebiasaan muncul karena perilaku yang diakui dan dilakukam secara turun-temurun. Sehingga kebiasaan ini bukanlah dasar yang logis dijadikan alasan untuk menentang perkawinan nyentana.
Demikian halnya dengan pembagian warisan dalam perkawinan Nyentana. Dalam Cloka 132 Manawa Dahrmacastra disebutkan, ‘’Anak dari wanita yang diangkat statusnya menjadi laki-laki sesuangguhnya akan menerima juga harta warisan dari ayahnya sendiri yang tidak berputra laki-laki(kakek). Ia akan menyelenggarakan Tarpana bagi kedua orang tuanya, maupun datuk ibunya’’. Selanjutnya Cloka 145 menyebutkan’’Anak yang lahir dari wanita yang statusnya ditingkatkan akan menjadi ahli waris seperti anak sendiri yang sah darinya. Karena hasil yang ditimbulkan adalah untuk dari pemilik tanah itu menurut UU’’.
Catatan
Namun demikian, harus diakui dengan jujur. Meskipun nyentana memiliki dasar kuat, dan penentangnya hanya berdalilkan kebiasaan. Perlu diingat, kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat adat memiliki akibat yang sangat besar, baik bagi keluarga maupun diri sendiri. Tidak menutup kemungkinan, ketika anda melakukan pelanggaran terhadap adat yang logis berlaku dalam lingkungan, kita akan dikenakan sanksi yang berat. Yakni keluarga akan dicemooh dan akibatnya kita dibuang oleh keluarga, dan keberadaan kita tidak pernah diakui sebagai bagian dari keluarga tersebut. Sanksi kesepekang dari ‘’pasemetonan’’ pastinya telah menunggu. dari berbagai sumber. oleh; Jingga